Selasa, 07 Juli 2009

Kagem diwaos


Ditinjau secara sosiologis, jika kita berbicara tentang Keris sebagai budaya bangsa, maka setidaknya kita akan berbicara tentang:

  1. Keris sebagai hasil refleksi dari kebudayaan ideal manusia yang hidup bermasyarakat. Dalam konteks ini, kita akan memandang keris sebagai hasil refleksi dari kebudayaan adhi luhung manusia – yang antara lain – terefleksi dari adanya nilai- nilai filosofis, etika dan estika keris:
  2. Keris sebagai hasil dari manifestasi dari kebudayaan actual manusia. Dalam konteks ini, kita akan memandang keris sebagai benda yang secara fisik memiliki fungsi dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat:
  3. Keris sebagai symbol status social, status ekonomi dan bahkan juga status politik dalam struktur komunitas tertentu. Dalam konteks ini, kita akan memendang keris dari dimensi social, ekonomi dan bahkan politis, terutama dalam kaitannya dengan makna simbolisnya;



Kebudayaan itu paling tidak mempunyai 3 wujud. Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan-peraturan. Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Dan ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda - benda hasil karya manusia.* Prof.Koentjoroningrat.

Ketika sebuah Keris adalah sebagai hasil gagasan kreatif manusia yang dimanifestasikan ke dalam aktifitas manusia dalam pembuatan Keris, dan akhirnya menghasilkan sebilah Keris (benda), akan timbul sebuah persoalan bagaimanakah suatu struktur social (masyarakat Jawa) menerapkan katiga butir wujud kebudayaan tersebut, terutama dalam kehidupan bermasyarakat?

Persoalan diatas menjadi sangat menarik untuk diamati, dikaji dan didiskusikan, karena – sadar atau tidak sadar- struktur social kita sedang berubah. Dalam proses perubahan struktur social tersebut, barangkali diantara kita yang eksis sebagai makluk individu dan makluk social dalam kehidupan bermasyarakat, kita akan berbeda dalam melakukan penyesuaian. Adaindividu dan/atau kelompok masyarakat yang sangat siap, cukup siap dan bahkan sama sekali tidak siap dalam menerima perubahan struktur social tersebut. Kenyataan ini bisa kita lihat – misalnya - bagaimana individu dan/atau sekelompok invidu berbeda dalam memperlakukan keris. Per definisi, Keris sebenarnya hanyalah Keris. Dia tidak lebih dari sebilah besi baja yang lurus atau berlekuk – lekuk, runcing dan tajam. Jika kita orang yang awam tentang keris – barangkali - kita hanya akan menganggap keris sebagai sebuah benda yang bisa digunakan sebagai senjata tajam saja, atau paling tidak, sebagai pelengkap (aksesoris) dalam pakaian adat laki- laki Jawa.

Namun, jika kita fasih tentang persoalan keris – barangkali - kita akan bisa menjelaskan secara panjang-lebar, misalnya, dari sisi filosofis pembuatanya, kerumitan tata cara pembuatannya, dan juga keindahan dari hasil pembuatannya. Oleh karena itu – barangkali - juga akan ditemukan berbagai pandangan yang positif atau negative, yang baik atau buruk, yang benar atau salah dalam memberlakukan sebilah keris. Dalam artian dalam suatu struktur social yang sedang berubah, akan sangat dimungkinkan tumbuh dan/atau berkembang berbagai pandangan yang berfariasi tentang keris. Persoalan disini adalah –jika ditinjau secara sosiologis- persoalan Keris bukan pada dikhotomi positif atau negative, baik atau buruk dan benar atau salah, namun pada mengapa pandangan tersebut dapat berfariasi.

Perubahan pada struktur social kita akan selalu ada perbedaan kesiapan individu dan/atau sekelompok individu dalam melakukan adaptasi social. Ada individu dan/atau sekelompok individu yang sangat siap, cukup siap dan bahkan sama sekali tidak siap dalam menerima perubahan struktur social tersebut. Teori sosiologi klasik * Robert K. Merton telah mengkategorikan lima kemungkinan yang dapat dilakukan oleh individu dan/atau sekelompok individu dalam melakukan adaptasi social terhadap perubahan……..termasuk perubahan dalam memberlakukan sebilah keris.

No

Individual adaptation

Cultural goals

Institutionalized means

1

Conformity

+

+

2

Innovation

+

-

3

Ritualism

-

+

4

Retrealism

-

-

5

Rebellion

+/-

+/-

Keterangan :

Tanda + berarti menerima perubahan nilai-nilai (cultural goals) dan cara-cara yang telah dilembagakan (institutionalized means).

Tanda – berarti menolak perubahan nilai-nilai (cultural goals) dan cara- cara yang telah dilembagakan (institutionalized means).

Tanda +/- berarti menolak dan sekaligus menghendaki nilai-nilai (cultural goals)

dan cara-cara yang baru yang telah dilembagakan (institutionalized means).

Melalui kerangka analisis diatas kita akan lebih jelas dalam “memetakan pandangan” suatu struktur social yang sedang berubah terhadap sebilah keris:

  1. Kita akan melihat individu dan/atau sekelompok individu yang menerima nilai-nilai filosofis keris, dan juga menerima bagaimana cara-cara yang telah ditradisikan dalam memperlakukan keris. Kelompok ini akan terdiri dari mereka yang eksis sebagai pecinta, penyayang dan bahkan pecandu keris, karena mereka benar-benar mengetahui tentang aspek filosofis, etika dan estika keris –dan pasti- termasuk benar-benar mengetahui tentang adanya nilai-nilai magis dan makna spiritual dari keris tersebut . kelompok ini jelas akan benar-benar mengetahui dan benar- benar bisa menjelaskan.
  2. Kita akan melihat ada individu dan/atau sekelompok individu yang menerima nilai-nilai filosofis keris, namun mereka menolak cara-cara yang telah mentradisi dalam memperlakukan keris. Kelompok ini akan eksis sebagai pengagum keris saja. Mereka mungkin memiliki satu atau dua buah Keris saja, namun Keris tersebut hanya dikagumi keindahan lahiriahnya saja, tanpa tahu dan tidak mau tahu tentang nilai-nilai magis dan makna spiritualnya Keris lainnya.
  3. Kita akan melihat ada individu dan/atau sekelompok individu yang menolak nilai-nilai filosofis keris, namun mereka menerima keris hanya sebagai hasil kebudayaan (benda) fisik saja. Kelompok ini terdiri dari mereka yang memiliki Keris “by accident” misal karena warisan dari leluhurnya atau pemberian seseorang yang dianggap “linuwih”. Dalam beberapa kasus, kelompok ini juga akan menggunakan keris sebagai symbol status social mereka.
  4. Kita akan melihat ada individu dan/atau sekelompok individu yang menolak, baik nilai-nilai filosofis maupun cara-cara yang telah mentradisi dalam memperlakukan keris. Kelompok ini terdiri dari mereka yang tidak mau tahu dan bahkan benar-benar buta tentang Keris.
  5. Kita akan melihat ada individu dan/atau sekelompok individu yang benar-benar menolak nilai-nilai filosofis dan cara-cara yang telah mentradisi dalam memperlakukan keris, namun mereka sekaligus menginginkan adanya nilai-nilai filosofis dan cara-cara yang baru dalam memperlakukan keris. Kelompok ini terdiri dari mereka yang ingin melakukan “reformasi total” terhadap Keris. Keris tidak lagi hanya dipandang sebagai benda yang memiliki nilai-nilai magis dan makna spiritual saja, namun juga dipandang memiliki nilai-nilai strategis dalam suatu kehidupan bermasyarakat.

Persoalannya kemudian adalah : bagaiman seyogianya (bukan solonya) menyikapi adanya perbedaaan cara pandang terhadap keris ? Per definisi, penjelasan teoritis tentang keris –telah dikemukakan diatas-, sebenarnya menjadi “sah-sah saja” ketika diantara kita, baik secara individu dan/atau kelompok individu saling berbeda dalam memendang tentang keris, apalagi dikaitkan dengan struktur social masyarakat Jawa yang saat ini sedang berubah. Dengan kata lain kita tidak mempersoalkan tentang positif atau negative, baik atau buruk, benar atau salah ketika seseorang tampak “aneh - aneh” dalam memperlakukan keris. Misalnya kita tidak perlu mempersoalkan apakah seseorang memperlakukan secara khusus terhadap kerisnya, karena adanya nilai- nilai magis dan makna spiritualnya, tampilannya yang indah, atau adanya keunikan-keunikan lainnya. Ditijau secara sosiologis, adanya variasi dari tipe 1, 2, 3, 4 atau 5 dalam memperlakukan keris dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bahkan bernegara, merupakan sebuah realita social yang wajar terjadi. Barangkali, terutama bagi orang awam, akan terasa membuang waktu jika memperdebatkan, keris macam apakah yang harus dimiliki sebagai “sipat kandel” nya seorang Presiden Indonesia? Atau barangkali kita akan benar-benar terpesona ketika diajak cangkruk an dan membahas karis yang bisa “berdiri tegak” tanpa sandaran ? Atau, barangkali kita juga akan mengatakan “alah biasa” ketika kita menyaksikan bahwa keris digunakan sebagai sipat kandel dalam dunia perdukunan?

Akhirnya , memang tidak teramat mudah untuk memahami apa makna keris yang sebenarnya sebagai budaya bangsa, apalagi ketika kita telah cepat-cepat antipati terhadap eksistensi keris dan komunitasnya. Pemahaman kita tentu akan berlekuk – lekuk, sebagaimana perwujudan lekuk-lekuk keris itu sendiri. Piye ????

Pustaka acuan :

Koentjoroningrat.1981.kebudayaan,mentalitas dan pembangunan.gramedia

Merton,Robert k.1961.social theory and social structure. Revised and enlarged edition.

**di sadur dari makalah Bapak Drs. DODDY SUMBODO SINGGIH, M.S dengan judul Struktur Sosial Masyarakat Jawa Timur dan Peta Pandangan Tentang Keris

Untuk orang-orang yang mau menggunakan otak dan logikanya bukan hanya takut pada dogma.

Untuk manusia yang masih percaya kepada GUSTI ALLOH SWT, inama amruhu idha aroda syaian ayakulalahu kun fayakun (salah nulis yo ben).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar